Jalan-jalan macet dan kendaraan-kendaraan padat merayap bak ular menyelimuti beberapa kota. Sebagian besar kendaraan tersebut terlihat jelas buatan dari negeri sakura sana. Negeri sakura dan samurai tersebut memang dikenal sebagai produsen produk-produk otomotif dengan teknologi dan kualitas berkelas. Disamping bidang otomotif, ketika anda memasuki pusat-pusat perbelanjaan peralatan elektronik, jepang juga digdaya dengan produk elektronik dan mesin-mesin peralatan rumah tangga dan pertanian. Hampir sebagian produk bidang tersebut tercantum jelas aksara made in japan sebagai simbolisasi keperkasaan dan kebanggaan dalam arena industri. Dengan itu produk dan brand dari jepang makin mengokohkan dirinya sebagai Leader market dan king of manufacturing. 

Sehingga tak dapat dipungkiri jika jepang saat ini merupakan salah negara yang sangat maju dalam industri terutama dalam bidang otomotif. Beberapa orang mengatakan bahwa majunya industri jepang karena mental dan etos kerja masyarakatnya yang sangat tinggi. Tapi terlepas dari budaya bangsa jepang yang sangat disiplin dan konsisten dalam bekerja, ada tokoh yang sangat berjasa dalam proses revolusi industri di jepang. Tentu sangat mencengankan bagaimana sebuah negara yang baru saja hancur lebur akibat bom atom dalam perang dunia II bisa begitu cepat bangkit dan tampil terdepan dalam bidang industri. Tokoh yang membangkitkan semangat industri di jepang akibat kekalahan pada perang dunia II itu adalah William Edward Deming.

 Deming yang dilahirkan di Sioux City, Lowa ini dikenal sebagai salah satu ‘Great Quality Pioneer’ atau “the father of the quality evolution”. Ia adalah seorang ahli statistik, Deming mendapatkan gelar sarjananya dari Universitas Wyoming, lalu melanjutkan masternya di Universitas Colorado dan memperoleh Doktornya di Yale. Deming sukses menerapkan pendekatan statistikal dalam pengaplikasiannya dalam bidang industri, hingga pada konsep Total Quality Management (TQM) yang masyhur itu dalam korporasi industri.
  William Edward Deming 

Sumbangsih besar Deming bagi Jepang, ketika Jepang lulu lantah akibat serangan bom atom yang melumpuhkan jepang. Ketika pada Tahun 1950, Dr Deming berbicara di depan para manajer puncak Jepang tentang peningkatan mutu, sejak saat itu organisasi-organisasi jepang mempelopori dan mengadaptasi gagasan-gagasan Deming. Sebagai hasil dari seminar-seminarnya, sejak tahun 1951 Jepang memiliki kompetisi nasional tahunan peningkatan kualitas (Deming Prize). Jepang juga mempunyai sejumlah jurnal dan buku yang dikhususkan untuk mempelajari dan memajukan implikasi-implikasi teori Deming. Kiprahnya dalam membangkitkan kembali industri jepang membuatnya dikenal sebagai orang yang bertanggung jawab atas teori manajerial yang berpengaruh atas transformasi Jepang menjadi bangsa terdepan dunia dalam produksi barang-barang bermutu tinggi. Dalam sebuah wawancara dengan NBC, Deming berkata “If Japan can, Why can’t we”, karena itulah kemudian Deming dilirik untuk membantu beberapa perusahaan besar seperti General motors dan Ford untuk meningkatkan kinerja dan kualitas produknya. 

Salah satu teorinya dalam produksi adalah tentang Variabilitas, bahwa bagaimana mengurangi produk cacat atau gagal seminimal mungkin yang terkenal dengan nama “eksperimen manik-manik merah” dalam kontrol statistik. Buku terkenalnya adalah Out of the Crisis yang menjelaskan (14 point for management) 14 langkah yang harus ditempuh manajemen untuk transformasi organisasi. Selain itu Deming sering menganjurkan bahwa Top Management dan karyawan adalah setara dalam dalam mendapatkan situasi kerja yang nyaman. “Top Management penting, namun karyawanlah yang membuat bisnis produksi tetap berjalan” ujarnya.

Entah apa jadinya jika pasca perang dunia II, William Edward Deming tak berkunjung ke jepang dan menularkan mantra keilmuannya . Mungkin jepang masih akan tertatih membangun negerinya dari sisa-sisa puing perang dunia II dan terlempar jauh dari pusaran industri. Deming telah meniupkan roh produktivitas dan mutu dalam bangsa jepang sehingga hari ini bisa bertarung dalam medan industri yang sarat technological, valuable dan inovatif. Teringat pesan seorang kaisar jepang sesaat setelah jepang hancur oleh bom atom, sang kaisar berpesan kumpulkan para guru dan ahli yang masih hidup. Edward Deming mungkin salah satu guru yang dipanggil oleh kaisar untuk membantu membangun kembali kejayaan jepang menjadi “kekaisaran industri”. Tidak salah kiranya jika Edward Deming berhak dijuluki ‘Kaisar’ industri jepang. 



17 februari 2013 
Ba’da isya, gubuk ‘berhati nyaman’

Jalan-jalan macet dan kendaraan-kendaraan padat merayap bak ular menyelimuti beberapa kota. Sebagian besar kendaraan tersebut terlihat jelas buatan dari negeri sakura sana. Negeri sakura dan samurai tersebut memang dikenal sebagai produsen produk-produk otomotif dengan teknologi dan kualitas berkelas. Disamping bidang otomotif, ketika anda memasuki pusat-pusat perbelanjaan peralatan elektronik, jepang juga digdaya dengan produk elektronik dan mesin-mesin peralatan rumah tangga dan pertanian. Hampir sebagian produk bidang tersebut tercantum jelas aksara made in japan sebagai simbolisasi keperkasaan dan kebanggaan dalam arena industri. Dengan itu produk dan brand dari jepang makin mengokohkan dirinya sebagai Leader market dan king of manufacturing. 

Sehingga tak dapat dipungkiri jika jepang saat ini merupakan salah negara yang sangat maju dalam industri terutama dalam bidang otomotif. Beberapa orang mengatakan bahwa majunya industri jepang karena mental dan etos kerja masyarakatnya yang sangat tinggi. Tapi terlepas dari budaya bangsa jepang yang sangat disiplin dan konsisten dalam bekerja, ada tokoh yang sangat berjasa dalam proses revolusi industri di jepang. Tentu sangat mencengankan bagaimana sebuah negara yang baru saja hancur lebur akibat bom atom dalam perang dunia II bisa begitu cepat bangkit dan tampil terdepan dalam bidang industri. Tokoh yang membangkitkan semangat industri di jepang akibat kekalahan pada perang dunia II itu adalah William Edward Deming.

 Deming yang dilahirkan di Sioux City, Lowa ini dikenal sebagai salah satu ‘Great Quality Pioneer’ atau “the father of the quality evolution”. Ia adalah seorang ahli statistik, Deming mendapatkan gelar sarjananya dari Universitas Wyoming, lalu melanjutkan masternya di Universitas Colorado dan memperoleh Doktornya di Yale. Deming sukses menerapkan pendekatan statistikal dalam pengaplikasiannya dalam bidang industri, hingga pada konsep Total Quality Management (TQM) yang masyhur itu dalam korporasi industri.
  William Edward Deming 

Sumbangsih besar Deming bagi Jepang, ketika Jepang lulu lantah akibat serangan bom atom yang melumpuhkan jepang. Ketika pada Tahun 1950, Dr Deming berbicara di depan para manajer puncak Jepang tentang peningkatan mutu, sejak saat itu organisasi-organisasi jepang mempelopori dan mengadaptasi gagasan-gagasan Deming. Sebagai hasil dari seminar-seminarnya, sejak tahun 1951 Jepang memiliki kompetisi nasional tahunan peningkatan kualitas (Deming Prize). Jepang juga mempunyai sejumlah jurnal dan buku yang dikhususkan untuk mempelajari dan memajukan implikasi-implikasi teori Deming. Kiprahnya dalam membangkitkan kembali industri jepang membuatnya dikenal sebagai orang yang bertanggung jawab atas teori manajerial yang berpengaruh atas transformasi Jepang menjadi bangsa terdepan dunia dalam produksi barang-barang bermutu tinggi. Dalam sebuah wawancara dengan NBC, Deming berkata “If Japan can, Why can’t we”, karena itulah kemudian Deming dilirik untuk membantu beberapa perusahaan besar seperti General motors dan Ford untuk meningkatkan kinerja dan kualitas produknya. 

Salah satu teorinya dalam produksi adalah tentang Variabilitas, bahwa bagaimana mengurangi produk cacat atau gagal seminimal mungkin yang terkenal dengan nama “eksperimen manik-manik merah” dalam kontrol statistik. Buku terkenalnya adalah Out of the Crisis yang menjelaskan (14 point for management) 14 langkah yang harus ditempuh manajemen untuk transformasi organisasi. Selain itu Deming sering menganjurkan bahwa Top Management dan karyawan adalah setara dalam dalam mendapatkan situasi kerja yang nyaman. “Top Management penting, namun karyawanlah yang membuat bisnis produksi tetap berjalan” ujarnya.

Entah apa jadinya jika pasca perang dunia II, William Edward Deming tak berkunjung ke jepang dan menularkan mantra keilmuannya . Mungkin jepang masih akan tertatih membangun negerinya dari sisa-sisa puing perang dunia II dan terlempar jauh dari pusaran industri. Deming telah meniupkan roh produktivitas dan mutu dalam bangsa jepang sehingga hari ini bisa bertarung dalam medan industri yang sarat technological, valuable dan inovatif. Teringat pesan seorang kaisar jepang sesaat setelah jepang hancur oleh bom atom, sang kaisar berpesan kumpulkan para guru dan ahli yang masih hidup. Edward Deming mungkin salah satu guru yang dipanggil oleh kaisar untuk membantu membangun kembali kejayaan jepang menjadi “kekaisaran industri”. Tidak salah kiranya jika Edward Deming berhak dijuluki ‘Kaisar’ industri jepang. 



17 februari 2013 
Ba’da isya, gubuk ‘berhati nyaman’

Sebuah postulat ekonomi mengatakan bahwa bisnis adalah mencari keuntungan/profit. Dengan menggunakan beberapa faktor produksi yang ada seseorang dapat menghasilkan raupan laba. Sehingga seorang pebisnis biasanya akan memanfaatkan Opportunity Cost yang bisa menghasilkan keuntungan. Opportunity Cost dalam pengertian bahwa akan membuang aktivitas yang tidak menghasilkan recehan rupiah tentunya. Pengakumulasian modal dalam sebuah bisnis menjadi sesuatu yang lumrah dengan memanfaatkan Opportunity Cost yang ada. Tapi makna Opportunity Cost akan jadi berbeda jika ia masuk dalam ranah sosial dan budaya masyarakat.



Hal ini terjadi ketika pada suatu hari saya ingin berbelanja salah satu kebutuhan sehari-hari, di tengah teriknya panas sinar matahari saya akan belanja di sebuah kios. Setelah beberapa kali singgah di beberapa kios tak satupun kutemui kios yang terbuka, pikiranku langsung menerka bahwa ini hari dan tanggal berapa, jangan sampai hari ini adalah hari raya dimana biasanya banyak kios/warung yang tutup. Tapi pikiran itu langsung hilang ketika saya yakin bahwa hari ini bukan hari raya. Tiba-tiba seseorang teman memberitahu kalau sekarang waktu istirahat sehingga kebanyakan pemilik warung sedang tidur siang. Saya terkaget mendengar kata teman tadi, masyarakat rela melepaskan sebuah Opportunity dalam meraup pundi-pundi rupiah dan memilih aktivitas lain. Kejadian ini berulang ketika suatu hari tepatnya hari minggu saya ingin membeli suatu barang, saya dengan asyiknya memacu kendaraan saya hingga sampailah di tempat yang menyediakan barang itu. Ternyata toko itu tertutup, pikiran saya flashback pada kejadian pertama jangan sampai ini waktu istirahat (baca: tidur siang), tapi jam masih menunjukkan pukul 09.00 pagi. Nanti setelah sampai di rumah, seorang teman memberitahu bahwa biasanya kalau hari minggu beberapa toko tutup karena itu adalah waktu untuk keluarga. Saya kembali tertegun mendengarnya dan berpikir bagaimana mungkin seseorang melepaskan kesempatan untuk meraup keuntungan secara ekonomis dengan menutup toko sumber penghasilannya. Hal serupa kembali terjadi ketika beberapa hari yang lalu saya menemani seorang teman yang ingin meng-laundry pakaian kotornya, sang penjaga laundry menolak keinginan teman untuk menggunakan jasa laundrynya. Hingga sang teman sempat mengatakan 'barusannya ada yang dak mau uang'.



Fenomena di atas memang terkadang melawan arus dominan dalam bisnis atau aktivitas ekonomi bahwa kita harus memanfaatkan Opportunity Cost yang menguntungkan secara ekonomis. Melepaskan sesuatu hal yang sifatnya dapat mendatangkan profit merupakan keputusan yang diluar kebiasaan dalam mengelola entitas bisnis. Akumulasi modal atau profit yang selama ini menjadi karakteristik sebuah bisnis dengan memanfaatkan Opportunity Cost yang ada menjadi sirna dengan fenomena sosial di atas. Ada satu alasan kuat yang muncul, misal bahwa ada tipologi masyarakat yang tidak ingin mau bersusah-susah dalam menjalankan bisnisnya sehingga tidak terlalu mengejar keuntungan. Tapi satu fakta menarik yang didapatkan bahwa sifat ingin mengakumulasi modal seperti semboyan kapitalisme tidak menjadi orientasi bisnisnya. Mereka membuka usaha/bisnis karena sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari mereka. Sehingga jika dirasakan keuntungan sehari sudah dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka maka mereka tidak akan melepaskan kebutuhan personal/privat seperti istirahat (tidur siang) dan berkumpul dengan keluarga sambil karaoke atau piknik. Dengan kata lain mereka ingin berkata hidup ini tidak selamnya hanya dimonopoli oleh aktivitas akumulasi modal tapi kita butuh yang lain (istirahat/tidur siang, karaoke, berkumpul dengan keluarga, dll) atau "hidup ini perlu dinikmati tidak harus disiksa dengan mengakumulasi keuntungan/laba sebanyak-banyaknya"





Sekedar pengisi waktu di dini hari sembari menunggu si CataLunya beraksi



Gorontalo 03.13 wita 30 okt 2011

Akhir-akhir ini, ku selalu ditemani dengan tulisan-tulisan dan teks-teks manuskrip. Asyik ku membacanya kata demi kata, kalimat demi kalimat, dan paragraf demi paragraf. Aku menemui sebuah tanda yang mengingatkanku tentang arti kehidupan dan kesemestaan. Tanda itu adalah "TITIK", titik dalam sebuah tulisan makna yang beragam. Ketika sebuah pena ingin menggariskan kata di atas sebuah kertas maka ujung pena akan membentuk titik terlebih dahulu sebelum membentuk huruf dan kata. Kata kemudian berbaris menjadi kalimat, dan di ujung kalimat ditutup dengan "titik". Begitulah juga kehidupan dan semesta ini, berawal dari "titik" lalu merangkai kata-kata atau dalam kehidupan disebut ikhtiar menuju "titik" kesempurnaan yang kaum beragama menyapanya dengan nama Tuhan.



Titik menghadirkan Keceriaan dan ketenangan pada rintik hujan

Titik menampilkan eksistensinya dalam Pergumulan alam logik

Titik mengejawantahkan kebesarannya dengan estetik

Titik mengajarkan sesuatu dengan cara yang etik

Titik menjaga keteraturan dengan cara yang apik



Bermula dari goresan titik

Melalui kumpulan titi-titik

Menuju sang titik


lo dini hari, 26 Nov 2011
02.33 wita

Berjumpa dengan Waktu

Beberapa hari ini ada kejadian yang menarik bagi saya. Saya seakan mengalami flash back ke beberapa tahun lalu. Kejadian-kejadian yang saya alami seakan memutar jarum waktu ke belakang. Beberapa tahun lalu rutinitas begadang menjadi sebuah aktivitas wajib ku, entah begadang karena kerja tugas kuliah, kajian bersama teman atau diskusi-diskusi dari tema ilmiah sampai seolah ilmiah. Di masa inilah aktivitas 'kalelawar malam' menjadi santapan pokok. Belakangan ini, fenomena tersebut kembali terulang walau dengan konten yang sedikit berbeda, berkenaan dengan literatur lah, borang-borang akreditasi lah atau karena memang mata yang masih ngotot melotot. Situasi ini seakan ingin mempertautkan kejadian beberapa tahun lalu dengan kondisi sekarang walaupun dengan arena yang berbeda.


Dua hari yang lalu ketika bertemu seorang teman yang menjadi salah satu pengurus lembaga kemahasiswaan mengajakku berpartisipasi dalam sebuah forum yang dilaksanakan oleh lembaganya. Ajakan ini juga mengantarkanku mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Di mana diamanahkan mengurus sebuah pranata sosial kampus. Aktivitasnya banyak bersentuhan pada pengembangan Human Capital. Tidak jarang kegiatannya dalam bentuk forum-forum dalam rangka meningkatkan Human Capital tersebut. Rekruitmen dan orientasi anggota sampai hal teknis yang berhubungan dengan agenda tersebut adalah fenomena yang tidak lazim kurasakan. Hari itu si teman kembali membuatku de javu dengan ajakan tersebut walau dengan posisi dan peran yang berbeda.


Tadi siang kusempat bersua dengan seorang dosen sekaligus kuanggap guru di dunia maya, kutanya kabarnya dan beliau menjawab dengan penuh hangat. Beliau kukenal sebagai seorang yang cukup cerdas dan produktif dalam pengembangan intelektual. Gagasan-gagasannya cukup kritis dan holistik dalam memandang sesuatu. Bersyukur saya pernah mendapatkan kelas dia. Model pembelajaran dan penjelasannya sangat menarik dan sistematis. Sosok dan karakternya pun saya sering jumpai pada forum-forum diluar kelas. Pesan-pesannya sering membuat nalar ini bangkit dan terinpirasi serta jiwa jadi tercerahkan. Dialog kami di dunia maya kembali mengingatkan beberapa tahun silam ketika berjumpa dan berdiskusi dengannya. Di akhir dialog sebuah pesan penyemangat tak lupa ia titipkan.

Alhamdulillah yaa,…
Sebuah kata yang bermakna ucap syukur yang sering di ucapkan oleh berbagai orang dan kalangan masyarakat. Tapi mengapa kata itu menjadi sangat fenomenal dan sensasional kita itu keluar dari bibir seorang Syahrini, padahal kata-kata itu sudah bertahun-tahun bahkan ribuan tahun telah di ucapkan oleh para kyai, mubalig, ustaz di mesjid-mesjid, pengajian, dan tempat-tempat lain. Tapi kata-kata dari pemuka agama itu seakan hanya numpang lewat dalam telinga kita. Mungkinkah masyarakat/umat lebih mendengarkan apa yang di ucapkan oleh seorang “Syahrini”..? Mungkinkah masyarakat lebih patuh pada fatwa seorang “Syahrini”..? Entahlah, ini hanya ramalan kerdilku memahami realitas yang terjadi.

Trend ini tidak hanya berlaku pada ungkapan syukur itu, tetapi tergerus dalam hal berbusana. Dalam adab agama islam dikenal istilah Hijab, yang dalam konteks keindonesiaan dinamakan jilbab. Sebagian kaum hawa seakan juga terimani dengan sebuah mode hijab ala “syahrini”, padahal sejak lama para agamawan telah mendakwahkan akan makna penting dan luhurnya hijab. Mungkin hijab ala “Syahrini” jauh lebih luhur dan bermakna sehingga sebagian kaum hawa langsung mengimani dan mengikutinya. Dakwah hijab ala “Syahrini” dengan hanya muncul di media seakan merasuk dalam batin umat terkhusus kaum hawa mengalahkan dakwah seorang kyai yang berkali-kali muncul di tengah masyarakat dengan ayat-ayat sucinya. Terlepas akan pemahaman akan makna religiusitas sebuah hijab, hijab ala “Syahrini” telah mendapatkan jamaahnya sendiri. Apakah mereka berjilbab karena ridho atau idol, hanya mereka dan tuhannya yang mengetahui.

Mode made in “Syahrini”
Makasih syahrini telah “menjilbabkan” kaum hawa dan mengalahkan para “jenggoters”

HMI dalam tafsir Marketing

Organisasi yang didirikan di kota pelajar yang berdiri 5 februari 1947 ini tidak dapat dipungkiri memegang peranan yang cukup besar dalam perjalanan bangsa Indonesia. Hal yang bermula dari keinginan pelajar/mahasiswa islam yang ingin berhimpun dalam satu wadah, dan hal ini ditangkap oleh Lafran Pane dan kawan-kawan pada saat itu.Sejalan dengan perkembangannya HMI menunjukkan eksistensinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai organisasi mahasiswa tertua dan terbesar, sumbangsih pemikiran telah banyak dilahirkan oleh kader HMI dalam perjalanan bangsa ini. Hal ini menunjukkan power dari organisasi hijau hitam ini (tapi tak pake laras). Mungkin hal ini dilandasi dari misi yang diemban oleh HMI yaitu keislaman,keumatan,dan kebangsaan ataupun tujuan insan citanya. Nama besar HMI meroket dalam perjalanan bangsa ini seiring dengan pemikiran-pemikiran besar yang lahir dari rahim hijau hitam.

Terlepas dari kebesaran HMI secara umum, HMI juga mendapat ruang ditengah para mahasiswa sehingga menempatkannya menjadi salah satu organ terbesar dalam dunia kampus. Tapi penulis melihat bahwa kebesaran HMI bukan karena ia adalah organisasi mahasiswa tertua di Indonesia tetapi HMI ternyata dapat membaca konteks/market yang ada dalam dunia kampus sehingga dapat diterima oleh kaum intelektual.

Seperti yang kita ketahui bahwa kampus yang identik dengan pendekatan rasionalis,kritis,analitis dan objektif membuat HMI menggunakan pola itu untuk memenangkan pasar(baca:Mahasiswa). Kaum intelektual pun sangat menyambut hal ini karena dapat membantu mereka dalam dunia kampus yang menuntut adanya daya kritis dan analisis rasional. Ungkapan dalam pemasaran bahwa kita harus mengetahui apa keinginan pasar sangat ditangkap betul oleh HMI sehingga menjadikannya sebagai Market Leader dalam pasar kaum intelektual kampus. HMI betul-betul menempatkan kaum intelektual sebagai segmentasi pasar yang efektif untuk mendakwahkan nilainya.

Dunia kampus yang sarat dengan ilmu pengetahuan dan buku sebagai simbolnya merupakan salah satu ciri pasar yang dilihat oleh HMI dan coba untuk diekspansinya. HMI memanfaatkan beberapa elemen pemasaran (segmentasi, targeting, positioning, process, differentiation, brand), dari segi segmentasi jelas HMI jelas fokus pada kaum intelektual/mahasiswa, sedangkan dari segi targeting adalah terkhusus mahasiswa islam, sedangkan dari sisi positioning HMI menjadi leader dalam beberapa great market/kampus. Pada segi process dalam elemen marketing, organisasi hijau hitam ini memiliki jenjang proses yang sangat terstruktur dan sistematis baik dalam hal keanggotaan maupun dalam pengkaderan. Hal ini memperjelas bahwa dari aspek proses cukup terkontrol. Dari segi differentiation, HMI memiliki tiga value yaitu himpunan/keorganisasian, mahasiswa/kemahasiswaan, dan islam/keislaman. Jika sebagian organ kampus hanya memiliki 2 value yang pertama maka value keislaman inilah yang menjadi sesuatu yang berbeda dengan organ kemahasiswaan lainnya. Hal lain yang yang membuat mengapa menjadikannya sebagai market leader kampus adalah kekuatan brand, sebagai organisasi kemahasiswaan tertua menjadikan HMI memiliki branding intelektualitas sampai akhirnya berkembang menjadi brand loyalty dan emotional brand organisasi bagi sebagian anggotanya. Tidak heran jika banyak kader tulen yang merasa darahnya telah berubah menjadi hijau hitam karena aspek loyalitas dan emosional terhadap merek/brand. HMI sangat jeli menawarkan produk dalam hal ini pendekatan rasional,kritis,pengetahuan yang notabene sangat dibutuhkan oleh para konsumen (baca: mahasiswa) .Sehingga tidak salah kalau HMI dalam dunia kampus menjadi barang lux (berharga) yang siap diperebutkan oleh para pelanggan.

Pola pendekatan rasionalitas dan intelektualitas di tengah pasar/kampus yang menggunakan metode tersebut membuat HMI memiliki strategi keunggulan bersaing differensial yang tidak dimiliki oleh elemen lain yang menggunakan metode lain misal skriptual,tekstual dan lain-lain.Hal inilah yang menjadikan HMI mendapat tempat di tengah pasar/kampus yang plural. Strategi pemasaran yang diterapkan HMI menjadikannya sebagai kebutuhan primer atau salah satu sembako yang mendesak untuk dimiliki oleh pelanggan dalam segmen kampus.

Sekali lagi bahwa penulis mencoba melihat kebesaran dan tumbuh suburnya HMI di dunia kampus dari sudut pandang yang lain tanpa mengesampingkan bahwa ada misi dan tujuan insan cita dalam konteks keumatan dan kebangsaan serta hal-hal besar yang telah disumbangkan HMI bagi bangsa dan Negara. Hal ini juga untuk refleksi atas kondisi ke-HMI-an.


Sebuah Kado keciL,

Selamat MiLad Hijau Hitam, 5 Februari 2011


 

Original Blogger Template | Modified by Blogger Whore