Pikir tidak (f)akir

Dalam suatu malam di sudut kamar yang mungil, tempat yang selalu setia menemaniku menampung semua kegelisahan, kesedihan, kebahagiaan dan kerisauan berkecamuk. Di sinilah seluruh gelayut nalar bertarung dalam medan pertempuran yang tak bertepi, di sinilah angan-angan itu berawal dan mengantarkan ku pada puncak ekstase epistemic. Di sinilah planning akan sebuah menara zaman akan di bangun. Entah mengapa nalar tersebut terus menjangkitiku seluruh bayang pikiranku. Logika ini selalu saja menggodaku tuk selalu mengejarnya, seakan menunjukkan bahwa di ujung lorong terdapat cahaya terang yang menanti.

Isyarat alam selalu mengetuk dinding nalarku untuk tak berdiam dalam tempurung, dan selalu mengajakku berkelana bak musafir di tengah padang pasir yang begitu luas. Semua sorotan mata adalah arena dalam mempertautkan intelegensia itu. Mungkin ini adalah kemestian alamiah seorang makhluk tuhan, sesuai dengan pesan salah satu manuskrip umat manusia yang mengatakan “sesungguhnya pergantian siang dan malam adalah tanda-tanda bagi orang yang berfikir”. Dan mungkin ini salah satu jawaban relevansi antara teks dan konteks. Salah satu kedahsyatan daya ini adalah sumber dari segala peradaban umat manusia, seluruh peradaban harus melalui racikan sang daya. Tak salah jika muncul stigma bahwa “apa yang engkau kerjakan adalah apa yang engkau pikirkan”.

Kekuatan yang merdeka ini seakan terus menyeruak dalam tempurung kepala, seolah-olah ingin menegaskan peran dan posisinya dalam realitas ini. Ia ingin kita mengendarainya dan mengantarkan ke mana saja sang tuannya menuju tempat tujuan. Ia bak mercusuar yang selalu mengamati mengawasi lautan untuk menemukan sebuah makna dari setiap entitas. Nalar mu sangat kaya dan terhormat maka jaga dan rawatlah dia. Bangunlah revolusi sejak dalam pikiran.

Masih segar dalam ingatan kita tragedi Tanjung Priok 14 April 2010. Sebuah peristiwa yang sangat melukai aspek kemanusiaan kita. Sebuah kompleks makam seorang ulama Habib Hasan Bin Muhammad Al-Haddad yang sangat di hormati coba untuk di gusur. Lokasi makam memang berada pada daerah yang memiliki nilai ekonomi. Jalur keluar masuknya kontainer/peti kemas dalam sebuah perdagangan membuatnya sangat strategis. Tapi usaha itu harus berhadapan dengan sejarah religius, emosi kultural leluhur yang mendarah daging dalam masyarakat. Sehingga jika nilai yang di pahami oleh masyarakat ini di ganggu maka masyarakat akan terusik. Lokasi Tanjung Priok inilah yang menjadi saksi dua entitas nilai yang saling bertabrakan, di satu sisi nilai ekonomisnya yang sangat tinggi dan di sisi lain nilai kultural religiusnya yang sangat mendalam.

Kasus seperti ini bukan yang pertama kalinya terjadi, masih terbayang juga dalam pikiran kita peristiwa yang menimpa rakyat palestina. Banyak masyarakat yang meninggal hanya untuk meyakini bahwa ini adalah tanah leluhurnya yang penuh dengan nilai historis religius. Konflik yang berlangsung puluhan tahun ini untuk memperebutkan pengakuan akan sebuah wilayah yang memiliki nilai historis religius yang sangat tinggi.

Mungkin kita juga masih ingat bagaiman film Naga Bonar Jadi 2 yang mengisahkan cerita tentang hubungan Naga Bonar (Deddy Mizwar) dan putranya, Bonaga (Tora Sudiro) dalam suasana kehidupan anak muda metropolis. Untuk memulai bisnis, Bonaga berniat menjual tanah milik ayahnya yang disana terletak kuburan keluarga Naga Bonar. Akhirnya timbul konflik perbedaan nilai diantara mereka.

Pesan Bung Karno: Jangan sekali-kali melupakan sejarah (JAS MERAH)


 

Original Blogger Template | Modified by Blogger Whore