Pikir tidak (f)akir

Dalam suatu malam di sudut kamar yang mungil, tempat yang selalu setia menemaniku menampung semua kegelisahan, kesedihan, kebahagiaan dan kerisauan berkecamuk. Di sinilah seluruh gelayut nalar bertarung dalam medan pertempuran yang tak bertepi, di sinilah angan-angan itu berawal dan mengantarkan ku pada puncak ekstase epistemic. Di sinilah planning akan sebuah menara zaman akan di bangun. Entah mengapa nalar tersebut terus menjangkitiku seluruh bayang pikiranku. Logika ini selalu saja menggodaku tuk selalu mengejarnya, seakan menunjukkan bahwa di ujung lorong terdapat cahaya terang yang menanti.

Isyarat alam selalu mengetuk dinding nalarku untuk tak berdiam dalam tempurung, dan selalu mengajakku berkelana bak musafir di tengah padang pasir yang begitu luas. Semua sorotan mata adalah arena dalam mempertautkan intelegensia itu. Mungkin ini adalah kemestian alamiah seorang makhluk tuhan, sesuai dengan pesan salah satu manuskrip umat manusia yang mengatakan “sesungguhnya pergantian siang dan malam adalah tanda-tanda bagi orang yang berfikir”. Dan mungkin ini salah satu jawaban relevansi antara teks dan konteks. Salah satu kedahsyatan daya ini adalah sumber dari segala peradaban umat manusia, seluruh peradaban harus melalui racikan sang daya. Tak salah jika muncul stigma bahwa “apa yang engkau kerjakan adalah apa yang engkau pikirkan”.

Kekuatan yang merdeka ini seakan terus menyeruak dalam tempurung kepala, seolah-olah ingin menegaskan peran dan posisinya dalam realitas ini. Ia ingin kita mengendarainya dan mengantarkan ke mana saja sang tuannya menuju tempat tujuan. Ia bak mercusuar yang selalu mengamati mengawasi lautan untuk menemukan sebuah makna dari setiap entitas. Nalar mu sangat kaya dan terhormat maka jaga dan rawatlah dia. Bangunlah revolusi sejak dalam pikiran.


 

Original Blogger Template | Modified by Blogger Whore