Langit itu Biru

Setiap masyarakat memiliki pengharapan akan suatu kondisi yang di cita-citakan, misalnya sebuah negara menginginkan masyarakat yang adil dan makmur, sebuah bangsa menginginkan sebuah kesejahteraan. Kondisi yang di cita-citakan ini biasanya di simbolkan dengan sesuatu. Hal ini sesuai dengan teori semiotika bahwa setiap simbol memiliki makna. Pada umumnya kondisi ideal ini di simbolkan dengan "Langit". Kata "Langit" ini memiliki keistimewaan makna. Pertama, Langit dalam pahaman masyarakat kita adalah kondisi tertinggi atau puncak, sehingga tidak heran banyak masyarakat bahwa pengharapan yang tertinggi ada di atas langit. Muncullah istilah Dewa Langit dan langit ke tujuh. Kedua, langit bisa menimbulkan 2 kondisi, bisa cerah atau mendung. Cerah bisa di maknai sebagai suatu pengharapan dan mendung bisa dimaknai bahwa cuaca yang buruk yang bisa mengakibatkan badai.

Dari perspektif tadi, jika kita ingin melihat pada ruang sosiologis maka langit yang cerah adalah suatu hal yang mimpikan. Kalau memakai pendekatan semiotika maka "Langit Biru" adalah simbol yang bisa di gunakan untuk memaknai kondisi tersebut. Dalam ranah sosial kondisi "langit" ini bisa dikondisikan, apakah para penyanggah langit menginginkan cerah atau mendung. Jika kondisi "Langit Biru" yang ingin di capai maka seluruh penyanggah yang di naungi oleh langit tersebut harus berusaha menciptakan kondisi sehingga langit itu tetap biru, karena kita menginginkan sebuah kondisi yang ideal maka menjadi harga mati bahwa langit itu harus tetap biru. Kita tak ingin cuaca buruk datang dan membuat langit kita menjadi mendung, karena mendung berarti badai akan datang menerpa.

"Langit Biru" adalah kondisi di mana kita dapat beraktivitas dan berkreasi. Langit adalah simbolitas pengharapan akan suatu kondisi dan Biru adalah simbolitas kondisi yang di harapkan.

Mendung itu pasti ada tapi mendung tak mesti menghadirkan badai, sehingga langit biru itu harus muncul untuk menjawab bahwa badai takkan datang,

Mari menyanggah langit itu tetap BIROE...

Sebuah refleksi dan persembahan buat birunya IMMAJ

EKOLOGI BISNIS

Mungkin betul apa yang di kata yang dikatakan oleh Thomas Khun dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution, bahwa pengetahuan itu akan mengalami revolusi mengikuti alurnya. Di mulai dari pandangan paham cartesian-newtonian yang sangat mekanistik-linear melihat alam. Paradigma ini mencoba menggambarkan alam dengan memisahkan entitas-entitas yang terdapat dalam alam ini. Pandangan dunia mereka berkarakter materialistik, atomistik, dualistik dan mekanistik. Paradigma semacam ini mengakibatkan mempengaruhi tindakan manusia dalam melihat alam ini. Sampai muncullah pemikiran dari Mulla Shadra yang melihat bahwa alam ini merupakan kesatuan wujud. Hal ini berangkat dari Metafilsafatnya yang didasarkan atas eksistensi (wujud) sebagai satu-satunya konstituen realitas. Shadra mengakui eksistensi sebagai realitas tunggal tapi menghargai keunikan segenap eksistensi yang nampak dalam dunia plural (beragam), yang di kenal dalam teorinya Prinsip Gradasi Eksistensi (wujud). atau Shadra mengakui keragaman dalam kesatuan bukan kesatuan dalam keragaman.

Pemikiran Shadra ini kemudian mempengaruhi beberapa pemikir seperti Whitehead dan Fritjof Capra. Fritjof Capra kemudian mengeluarkan Paradigma Holistik Ekologis. Paradigma ini mencoba melihat bahwa alam ini merupakan kesatuan ekologis yang memiliki hubungan. Jadi menurutnya alam ini merupakan sebuah sistem yang memiliki jaringan-jaringan dan setiap jaringan memiliki saling keterhubungan.

Cara pandang ini kemudian berkembang di Abad 20 ini, tidak terkecuali dalam dunia bisnis. Pemasaran misalnya yang mengalami pergeseran paradigma dari maksimisasi nilai shareholder ke maksimisasi nilai stakeholder. Dimana stakeholder ini telah termasuk lingkungan sekitar. Hal berdasar bahwa sebuah perusahaan itu akan maju jika memperhatikan stakeholdernya. Bahwa ada kesatuan antara perusahaan dengan para stakeholdernya. Lingkungan bisnis bagaikan sebuah sistem dimana di dalamnya terdapat jaring-jaring stakeholder yaitu konsumen, karyawan dan lingkungan.

Munculnya CSR (corporate social responsibility) diindikasi sebagai pengaruh paradigma ini. Dimana perusahaan harus memiliki tanggung jawab atas lingkungan sekitarnya. Ibaratnya perusahaan telah memanfaatkan/mengeksploitasi alam/lingkungan maka sebaiknya perusahaan berterima kasih kepadanya. CSR ibarat surat penghapusan dosa perusahaan pada alam/ekologi. Luasnya jangkauan lingkungan bisnis mensyaratkan tidak boleh putusnya jaring-jaring yang ada di dalamnya. Lingkungan yang menjadi salah satu jaringan tersebut menjadi sesuatu yang patut diperhatikan.

Pertanyaan mendasar bagi perusahaan adalah betulkah niat perusahaan menjalankan CSR atau Social Marketing lainnya adalah untuk menjaga keseimbangan ekologi ini bahwa ada kesatuan sistem dalam lingkungan bisnis ataukah ini sebuah kamuflase dari strategi baru dalam mempromosikan produk perusahaan kepada pelanggan.

HOLIDAY IS DEAD

Libur telah tiba…Horee…Horee…Horeeeee…

Mungkin kita masih ingat lirik dari sebuah lagu yang dinyanyikan penyanyi cilik ini dulu, lagu ini biasanya menghiasi televisi menjelang masa-masa siswa usai melaksanakan ujian. Holiday berarti hari libur, pakansi (libur untuk sekolah ), atau hari raya. Holiday ini satu akar kata dengan Holy artinya suci atau Holiness yang artinya kesucian. Libur ini dianggap sebagai suatu waktu di mana kita terbebas dari segala macam aktifitas dan rutinitas sehari-hari. Masyarakat dominan melihat fenomena libur sebagai tidak adanya kegiatan yang dilaksanakan pada waktu itu. Itulah maksud libur (holiday) secara etimologi. Sehingga masa ini sangat dinanti-nanti oleh masyarakat secara umum karena mereka menganggap akan terbebas dari berbagai macam kegiatan. Tetapi anehnya fenomena yang terjadi pada masa libur kita malah membuat kegiatan atau aktifitas sebagai pengganti kegiatan sebelumnya, misalnya kita libur tapi melakukan kegiatan tamasya pada saat itu juga. Pemaknaan libur kita maknai hanya sebagai penggantian aktifitas satu ke aktifitas yang lainnya, tapi kalau kita konsisten dengan kata libur berarti tidak ada aktifitas yang kita lakukan.
Pada masyarakat moderen misalnya menganggap bahwa musim liburan adalah masa yang sangat berharga dan sangat mahal. Masa liburan adalah ritual wajib atau semacam hari raya yang harus dilaksanakan oleh kaum modern yang mungkin jika tidak dilaksanakan kita akan berdosa. Sehingga tidak heran mereka memiliki agenda khusus dan anggaran sendiri dari pendapatan yang dimiliki disisihkan untuk musim liburan ini, bahkan jauh-jauh sebelumnya mereka telah mem-booking tempat dan tiket untuk perjalanannya. Tempatnya juga tak tanggung-tanggung melintasi benua demi merealisasikan musim liburan ini. Uang mereka hamburkan demi merasakan kenikmatan bersama keluarga pada masa libur tersebut. Dalam menyambut musim liburan ini mereka siap menggelontorkan kemampuannya agar tidak kehilangan momen ini. Masyarakat barat mungkin memahami libur (holiday) sebagai suatu hal yang suci seperti dijelaskan sebelumnya sehingga mereka tidak akan melepaskan momentum ini (libur) dan bahkan mengeluarkan biaya yang besar untuk memperingati masa liburan dengan berbagai macam aktifitas.
Dalam konteks lembaga kemahasiswaan apakah hukum libur berlaku padanya? Pernahkah lembaga kemahasiswaan mengadakan libur ?. Yang terjadi selama ini adalah libur dalam hal akademik tetapi kita melihat itu sebagai libur lembaga kemahasiswaan. Kalau kita kembali kepada definisi libur yaitu tidak adanya aktifitas atau kegiatan yang kita lakukan, Maka libur secara akademik tidak berarti meliburkan lembaga kemahasiswaan, libur itu hanya berlaku pada kegiatan akademik dan tidak berlaku universal pada lembaga kemahasiswaan.Libur tidak dapat digeneralkan pada semua kegiatan.Sindrom libur ini menjangkiti kita semua termasuk pada pengurus lembaga kemahasiswaan sehingga membuat program menjadi terhambat. Momentum libur akademik ini harus dimanfaatkan untuk mengkonsolidasikan seluruh stakeholder yang ada untuk membangun visi dan mengejar ketertinggalan.
Pertanyaan paling mendasar untuk mengatasi sindrom libur yang sudah sangat akut ini dan menjangkiti lembaga kemahasiswaan adalah Apakah libur itu ada ? kalau kita kembali kepada definisi libur yaitu tidak adanya aktifitas yang kita lakukan maka pertanyaannya kemudian adalah pernahkah kita tidak melakukan aktifitas ? kalau kita menjawab pernah, misalnya tidur. Ternyata tidur juga merupakan aktifitas sehingga secara konseptual libur itu tidak ada atau kita tidak pernah tidak melakukan aktifitas. Jadi libur itu sebenarnya tidak ada yang ada hanya kita mengganti aktifitas yang satu ke aktifitas yang lainnya. Tinggal kita melihat apakah tidur yang merupakan aktifitas pantas dan ideal dilakukan dalam lembaga kemahasiswaan. Dengan sendirinya pada lembaga kemahasiswaan tidak mengenal kata libur karena kita tidak pernah berhenti beraktifitas sehingga libur telah mati (holiday is dead).
Jadi, sepantasnya di masa transisi akademik seperti ini pengurus lembaga kemahasiswaan mempersiapkan hal-hal yang akan dilaksanakan bukan meliburkan segala aktivitas kelembagaan yang ada. Agenda-ageda pengkaderan harus tetap jalan dan jangan memaknai lembaga kemahasiswaan sebagai benda mati tapi maknai lembaga sebagai benda hidup di mana para pengurus adalah roh dan jiwanya. Libur bukan berarti tidak adanya aktifitas yang kita lakukan tetapi hanya perpindahan aktifitas satu ke aktifitas lainnya. Menjadi pengurus berarti telah me-wakaf-kan tenaga dan waktu kita pada sebuah lembaga kemahasiswaan

Penulis adalah seseorang yang mencoba memahami realitas kampus di tengah benturan wacana dan ideologi

Lembaga Itu Candu

Di sebuah lorong gang, terlihat beberapa ana' muda sedang asyik berkerumun. Tampak mereka melakukan sesuatu hal, setelah kaki ku mendekat kepada mereka tampak sebuah gulungan kertas dan sebuah benda seperti botol yang mereka coba nikmati. Gulungan kertas itu berisi setumpuk marijuana seperti semacam daun. Botol itu kemudian terlihat di bakar bagian bawahx sehingga menimbulkan kepulan asap yang kemudian mereka isap sama". Mereka seakan sangat menikmati dan seolah berada pada dunia yang tanpa memiliki hukum gravitasi sehingga seakan melayang entah kemana.Pada titik tertentu mereka akan sampai pada fase ekstase di mana segala yang ada akan mereka lupakan. Puncak dari sebuah kenikmatan yang melewati alam sadar mereka. Inilah sebuah titik klimaks dari menikmati sebuah lentingan gulungan marijuana dan kepulan asap dari botol ajaib.

Candu pada titik tertentu akan sampai pada ekstase seperti itu, jangan heran jika candu ini menjadi barang yang sangat di cari dan mahal.Barang ini menjadi sesuatu yang tak ternilai bagi sebagian kelompok dalam masyarakat, banyak yang merelakan tenaga,harta, bahkan nyawax demi mendapatkan barang tersebut.

Pada konteks kampus, lembaga mahasiswa adalah candu. Ia memberikan kenikmatan yang tak ternilai kepada seseorang yang mencicipinya. Ada perjalanan intelektual,emosional, dan spritual dalam menjalaninya, hal ini membuat kita akan sampai pada titik ekstase sebagai manusia. Manusia sebagai makhluk sosial meniscayakan perlunya sebuah interaksi berbagai individu, sehingga mengapa lembaga memegang peran strategis. Lembaga akan mengajarkan qta banyak hal tentang hidup ini, bgm menghargai pndapat orang lain, mengelola stres, problem solving, ikhlas dalam bekerja, serta berpikir kreatif dan kritis. Hal ini akan mengantarkan qta sampai pada suatu jati diri sbagai manusia. Suatu klimaks kenikmatan yang tak tergantikan. Dalam perspektif Abraham Maslow bahwa puncak sebuah kebutuhan manusia adalah aktualisasi diri. Hal ini dapat di konsumsi dalam lembaga mahasiswa, tinggal bgaimana aktualisasi ini diarahkan dalam ruang yang positif sesuai dengan nuansa kampus yang ilmiah dan kritis. Semoga tak terjadi kegagalan seksual sperti kata Sigmund Freud akibat pemenuhan kebutuhan yang tidak pada tempatx.

Akhirnya, mudah-mudahan para pengurus akan sampai pada titik ekstase bukan pada titik jenuh dalam berproses dalam lembaga mahasiswa. Sejarah kini berada di dalam kepalan tangan, tinggal bagaimana mengukirx, karena sejarah takkan terulang sebab hidup hanya sekali.


Sebuah kado tuk para penyongsong perubahan......

Ekonomi merupakan suatu hal yang sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia. Perdebatan dalam kaum kapitalis dan kaum sosialis menjadi contoh bagaimana nillai ekonomi memiliki bargaining dalam perjalanan hidup ini. Di dalam kapitalisme dijelaskan bahwa kekuatan individu lah yang memainkan peran penting dalam aktivitas ekonomi, sedangkan kaum sosialis menjelaskan bahwa negara memegang peranan dalam kehidupan ekonomi dalam mewujudkan welfare state.

Dalam pemasaran dipahami bahwa terdapat beberapa stakeholder yang bermain dan umumnya ada dua kutub besar yang saling tarik menarik. Pihak pertama yaitu Produsen dan pihak kedua yaitu konsumen. Kedua pihak tak dapat dipisahkan ia bagaikan dwi tunggal, keduanya tak mandiri.Dan di satu sisi pemasaran adalah suatu ilmu yang begitu kompleks, ia akan membahas watak,tipikal,psikologi,selera,kebutuhan manusia,aspek ekonomi,serta aspek sosiogis manusia. Sehingga tidak heran jika pemasaran akan masuk pada sisi-sisi privat manusia yang paling intim.


Pertanyaan kemudian, yang manakah yang mempengaruhi? produsen atau konsumen. Hal ini berangkat dari pahaman bahwa produsenlah yang menciptakan produk sehingga konsumen menjadi pengikutnya (taklid), atau kah paradigma yang beranggapan bahwa produk tercipta karena kebutuhan konsumen sehingga produsen wajib (taklid) mengikuti keinginan konsumen atau customer oriented.

Ibarat dalam kehidupan sosial bahwa ada masyarakat dan individu, maka dalam pemasaran terdapat produsen dan konsumen. Siapakah yang riil diantara keduanya..??.Jika dikatakan bahwa produsenlah yang riil tetapi mengapa produsen begitu berharap pada konsumen
sebagai sumber penghidupannya/pendapatannya.. Dan jika dikatakan bahwa konsumen yang riil, tetapi mengapa banyak konsumen yang terbuai akan rekayasa produk oleh produsen. Bahkan pola pikir dan pola hidup konsumen terbentuk oleh produsen.

Bagaimanakah sikap kita seharusnya jika menjadi produsen dan jika menjadi konsumen....????

Sehingga dalam aktivitas ekonomi terwujud pemasaran yang fair tanpa menindas satu dengan yang lainnya.sebagaimana terciptanya welfare state dalam masyarakat..

Runtuhnya Bangunan Peradaban

Mesir suatu daerah yg pernah mencatatkan namax sbgai daerah termakmur..
siapa yg tak mengenal peradaban mesir.....daerah yg menjadi perebutan beberapa negara karena daerahx yg subur....
sebuah sungai yang membuat Mesir menjadi Imperium d muka bumi....ya.sungai Nil,....sebuah sungai yg membuat daerah sekitarx menjadi tanah yg subur..

.....Awal peradaban tersebut dari sebuah sungai yg menjadi sumber" kehidupan bagi beberapa kabilah.setelah sempat meraih kejayaan peradabannya, perebutan wilayah sungai Nil menjadi penyebab runtuhx peradaban tersebut.akibat ego beberapa negara mengakibatkan rusaknya tatanan masyarakat di wilayah tersebut. setelah sungai Nil di perebutkan, para kabilah" berhamburan seperti semut,.ke manakah kabilah-labilah itu,..?

Dimanakah Sungai Nil itu dapat di temukan kembali.....?
sehingga dapat menjdi sumber kehidupan manusia...!

merupakan proyeksi dari sebuah komunitas...


 

Original Blogger Template | Modified by Blogger Whore