Berjumpa dengan Waktu

Beberapa hari ini ada kejadian yang menarik bagi saya. Saya seakan mengalami flash back ke beberapa tahun lalu. Kejadian-kejadian yang saya alami seakan memutar jarum waktu ke belakang. Beberapa tahun lalu rutinitas begadang menjadi sebuah aktivitas wajib ku, entah begadang karena kerja tugas kuliah, kajian bersama teman atau diskusi-diskusi dari tema ilmiah sampai seolah ilmiah. Di masa inilah aktivitas 'kalelawar malam' menjadi santapan pokok. Belakangan ini, fenomena tersebut kembali terulang walau dengan konten yang sedikit berbeda, berkenaan dengan literatur lah, borang-borang akreditasi lah atau karena memang mata yang masih ngotot melotot. Situasi ini seakan ingin mempertautkan kejadian beberapa tahun lalu dengan kondisi sekarang walaupun dengan arena yang berbeda.


Dua hari yang lalu ketika bertemu seorang teman yang menjadi salah satu pengurus lembaga kemahasiswaan mengajakku berpartisipasi dalam sebuah forum yang dilaksanakan oleh lembaganya. Ajakan ini juga mengantarkanku mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Di mana diamanahkan mengurus sebuah pranata sosial kampus. Aktivitasnya banyak bersentuhan pada pengembangan Human Capital. Tidak jarang kegiatannya dalam bentuk forum-forum dalam rangka meningkatkan Human Capital tersebut. Rekruitmen dan orientasi anggota sampai hal teknis yang berhubungan dengan agenda tersebut adalah fenomena yang tidak lazim kurasakan. Hari itu si teman kembali membuatku de javu dengan ajakan tersebut walau dengan posisi dan peran yang berbeda.


Tadi siang kusempat bersua dengan seorang dosen sekaligus kuanggap guru di dunia maya, kutanya kabarnya dan beliau menjawab dengan penuh hangat. Beliau kukenal sebagai seorang yang cukup cerdas dan produktif dalam pengembangan intelektual. Gagasan-gagasannya cukup kritis dan holistik dalam memandang sesuatu. Bersyukur saya pernah mendapatkan kelas dia. Model pembelajaran dan penjelasannya sangat menarik dan sistematis. Sosok dan karakternya pun saya sering jumpai pada forum-forum diluar kelas. Pesan-pesannya sering membuat nalar ini bangkit dan terinpirasi serta jiwa jadi tercerahkan. Dialog kami di dunia maya kembali mengingatkan beberapa tahun silam ketika berjumpa dan berdiskusi dengannya. Di akhir dialog sebuah pesan penyemangat tak lupa ia titipkan.

Alhamdulillah yaa,…
Sebuah kata yang bermakna ucap syukur yang sering di ucapkan oleh berbagai orang dan kalangan masyarakat. Tapi mengapa kata itu menjadi sangat fenomenal dan sensasional kita itu keluar dari bibir seorang Syahrini, padahal kata-kata itu sudah bertahun-tahun bahkan ribuan tahun telah di ucapkan oleh para kyai, mubalig, ustaz di mesjid-mesjid, pengajian, dan tempat-tempat lain. Tapi kata-kata dari pemuka agama itu seakan hanya numpang lewat dalam telinga kita. Mungkinkah masyarakat/umat lebih mendengarkan apa yang di ucapkan oleh seorang “Syahrini”..? Mungkinkah masyarakat lebih patuh pada fatwa seorang “Syahrini”..? Entahlah, ini hanya ramalan kerdilku memahami realitas yang terjadi.

Trend ini tidak hanya berlaku pada ungkapan syukur itu, tetapi tergerus dalam hal berbusana. Dalam adab agama islam dikenal istilah Hijab, yang dalam konteks keindonesiaan dinamakan jilbab. Sebagian kaum hawa seakan juga terimani dengan sebuah mode hijab ala “syahrini”, padahal sejak lama para agamawan telah mendakwahkan akan makna penting dan luhurnya hijab. Mungkin hijab ala “Syahrini” jauh lebih luhur dan bermakna sehingga sebagian kaum hawa langsung mengimani dan mengikutinya. Dakwah hijab ala “Syahrini” dengan hanya muncul di media seakan merasuk dalam batin umat terkhusus kaum hawa mengalahkan dakwah seorang kyai yang berkali-kali muncul di tengah masyarakat dengan ayat-ayat sucinya. Terlepas akan pemahaman akan makna religiusitas sebuah hijab, hijab ala “Syahrini” telah mendapatkan jamaahnya sendiri. Apakah mereka berjilbab karena ridho atau idol, hanya mereka dan tuhannya yang mengetahui.

Mode made in “Syahrini”
Makasih syahrini telah “menjilbabkan” kaum hawa dan mengalahkan para “jenggoters”


 

Original Blogger Template | Modified by Blogger Whore